Jakarta, Mambruks.com-Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mempertanyakan alasan Plt Bupati Mimika Johannes Rettob tidak ditahan dan dinonaktifkan dari jabatannya oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri Tito Karnavian). Padahal status Johannes sudah menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter saat dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Mimika. Kerugian negara dari kasus dugaan korupsi ini mencapai Rp 43 miliar.
“Menurut saya, tidak ada alasan Kemendagri untuk tidak menonaktifkan sementara kepada yang bersangkutan,” ujar Margarito dalam diskusi publik bertajuk “Polemik Dalam Proses Pemberian Diskresi Terdakwa Korupsi yang Terjadi di Papua’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4).
Margarito berharap Mendagri tidak menggunakan alasan bahwa kalau mengonaktifkan seolah-olah pemerintahan akan lumpuh atau tidak ada orang yang menjabat.
“Dalam aturan itu, kalau dua-duanya, jabatan bupati atau wakil bupati kosong maka untuk sementara pemerintahan dilaksanakan oleh Pelaksana Harian (Plh) yaitu sekretaris daerah. Dalam beberapa hari, harus diangkat pejabat bupati. Kewenangan itu ada pada Kemendagri,” ujar Margarito Kamis.
Sebagai informasi, Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Johannes sebagai tersangka korupsi korupsi pengadaan pesawat dan helikopter. Selain Johannes, ada terdakwa lain dalam kasus ini yakni Direktur Asian One Air Silvi Herawati yang merupakan pihak ketiga dalam pengadaan pesawat Cessna Grand Caravan dan Helikopter Airbus H-125.
Terdakwa dikenakan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal penjara selama 20 tahun. Namun, keduanya tidak ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian menjadi terdakwa.
Saat ini, kasus korupsi yang menjerat Johannes itu telah masuk tahap persidangan. Majelis Hakim PN Jayapura rencananya bakal membacakan putusan sela dalam kasus Johannes ini pada Senin, 17 April 2023.
Kuasa Hukum Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Papua anti korupsi, Michael Himan, mengatakan, komitmen NKRI dan seluruh warga negara Indonesia untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diselesaikan secara luar biasa.
Faktanya, kata Michael Himan, pemberantasan korupsi tindak pidana korupsi khususnya di tanah Papua begitu luar biasa penindakannya tanpa toleransi dan kompromi.
Empat pejabat orang asli Papua di antaranya Barnabas Suebu (mantan Gubernur Papua), Lukas Enembe (Gubernur Papua Nonaktif), Eltinus Omaleng (Bupati Mimika Nonaktif), dan Ricky Ham Pagawak (Bupati Mamberamo Tengah Nonaktif) telah mengalami tekanan, dikejar, ditangkap, ditahan dan sedang menjalani proses hukum tindak pidana korupsi.
Dia menyebut mereka di tingkat penyidikan sebagai tersangka maupun menjalani proses persidangan di Pengadilan sebagai terdakwa dengan status pejabat Nonaktif.
“Mirisnya meskipun Lukas Enembe sakit keras namun tidak ada ampun dan tidak ada toleransi dari negara perlakukan negara tampaknya sangat kontradiktif terhadap terdakwa korupsi Johannes Rettob,” katanya dalam diskusi yang sama.
Pegiat antikorupsi Saor Siagian Secara mengatakan, sebenarnya penegakan hukum di tanah Papua dilakukan dengan secara tidak adil. Menurut Saor, beberapa masalah hukum yang sudah dilakukan terlebih kususnya dengan perkara Lukas Enembe tidak adil secara hukum.
“Menurut saya proses penegakan hukum harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan para penegak hukum harus tunjukan hukum yang adil di Indonesia,” tegas Saor.
Senada, aktivis hak asasi manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa Johannes terlihat istimewa di mata publik kerena tidak ditahan. Ia menilai hal itu mencederai rasa keadilan bagi publik, khususnya masyarakat papua.
Sedangkan menurut pakar hukum Rocky Marbun, secara normatif hakim tidak ada landasan konstruksi ilmiah dalam urusan yang logis dalam pemberian diskresi. Menurutnya, pertimbangan oleh majelis hakim tipikor Marco Wiliam Erari terhadap terdakwa korupsi Johannes Rettob tidak ditahan dan tetap menjalankan tugas sebagai Plt Bupati Mimika adalah alasan yang sangat subyektif.
Rocky mengatakan, landasan dan instrumen hukum sangat jelas, dimungkinkan seorang tersangka tidak ditahan, aitu jika tersangka tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan tidak ada keadaan-keadaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP yang menyatakan “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu”.