Papua — Suara lantang datang dari pegunungan Lapago. Tokoh muda Papua, Semmy Kogoya, S.Ak, mengguncang opini publik setelah mengeluarkan pernyataan keras yang menyoroti bobroknya manajemen PT Freeport Indonesia. Dalam pernyataannya, Semmy Kogoya, S.Ak menilai bahwa banyaknya persoalan di tubuh Freeport, terutama terkait kesejahteraan dan keamanan para pekerja, menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan di perusahaan tambang raksasa itu.
Tragedi tewasnya 7 pekerja Freeport yang tertimbun di terowongan tambang menjadi titik balik yang memicu amarah publik. Bagi Semmy , peristiwa memilukan itu bukan sekadar kecelakaan biasa — tapi cermin dari sistem yang gagal dan kepemimpinan yang kehilangan arah.
“Setiap kali ada korban, kita selalu mendengar janji perbaikan. Tapi nyatanya, Freeport terus menambang tanpa hati. Kesejahteraan pekerja diabaikan, keamanan kerja dipertaruhkan, dan masyarakat Papua hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri,” tegas Semmy, yang pernah menjabat Sekretaris KNPI Provinsi Papua.
Menurutnya, semua tragedi dan masalah yang terjadi saat ini justru menjadi momentum emas untuk mereformasi total kepemimpinan di Freeport Indonesia. Sudah saatnya, kata Semmy Kogoya, kepemimpinan perusahaan itu berada di tangan yang benar-benar memahami denyut nadi Papua dan nasib para pekerja tambang di bumi Cenderawasih.
Dan bagi Semmy, nama itu jelas: Frans Pigome.
Putra Asli Papua yang Layak Pimpin Freeport
Dalam pandangan Semmy Kogoya, S.Ak, Frans Pigome bukan sosok asing di dunia pertambangan. Ia adalah Putra Asli Papua yang lahir, besar, dan mengabdi di Freeport selama puluhan tahun. Berulang kali menduduki posisi strategis, Frans dikenal sebagai pemimpin yang berintegritas, berpihak pada pekerja, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
“Frans Pigome itu bukan orang luar yang datang hanya untuk menggali dan pergi. Ia bagian dari tanah ini. Ia tahu bagaimana penderitaan para pekerja, ia juga paham bagaimana seharusnya perusahaan besar seperti Freeport menghargai masyarakat Papua,” tambah Semmy.
Selama ini, lanjut Semmy, Freeport hanya menjadi simbol kesenjangan. Di satu sisi, emas dan tembaga terus mengalir keluar Papua, namun di sisi lain, rakyat asli di sekitar tambang tetap hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan.
56 Tahun Menggali Papua, Belum Pernah Anak Papua di Kursi Tertinggi
Sejak berdiri lebih dari 56 tahun lalu, PT Freeport Indonesia telah menjadi salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Namun, fakta mencengangkan tetap tak terbantahkan — belum sekalipun seorang Putra Asli Papua diberi kepercayaan untuk menjadi Presiden Direktur.
Padahal, menurut Semmy Kogoya, S.Ak, saat ini adalah momentum paling tepat untuk mengubah sejarah itu. Kepercayaan publik terhadap manajemen lama telah runtuh. Tragedi demi tragedi membuktikan bahwa sistem lama sudah tidak relevan.
“Cukuplah sudah Papua hanya jadi penonton di tanah sendiri. Sekarang waktunya anak negeri ini memegang kendali. Frans Pigome punya kapasitas, pengalaman, dan hati untuk membawa Freeport menjadi perusahaan yang bukan hanya mencari untung, tapi juga menebar kesejahteraan,” tegasnya lagi.
Momen Kebangkitan Papua di Tanah Sendiri
Suara Semmy Kogoya, S.Ak kini menjadi gema baru yang mulai bergulir di berbagai kalangan pemuda Papua. Mereka melihat figur seperti Frans Pigome sebagai harapan baru — simbol bahwa Papua bukan hanya tanah tambang, tapi tanah yang melahirkan pemimpin.
Bagi mereka, reformasi kepemimpinan Freeport bukan sekadar urusan korporasi, melainkan gerakan moral dan kebangkitan harga diri bangsa Papua.
“Jika selama 56 tahun Freeport bisa memperkaya dunia, maka sekarang biarkan anak Papua memperkaya bangsanya sendiri,” ujar Semmy menutup pernyataannya dengan nada penuh keyakinan.
Kini, bola panas itu bergulir ke meja pemerintah dan pemegang saham Freeport Indonesia. Akankah suara dari pegunungan Lapago ini didengar? Ataukah Papua harus kembali menunggu puluhan tahun lagi untuk melihat Putra Aslinya memimpin di tanah sendiri?
Satu hal pasti — nama Frans Pigome kini menjadi simbol perlawanan baru.
Dan sejarah akan mencatat, apakah Freeport memilih melanjutkan tradisi lama…
atau membuka babak baru di bawah kepemimpinan Putra Asli Papua.





