Dari tanah di ujung timur Indonesia—tempat gunung-gunung menyimpan emas dan tembaga bernilai triliunan rupiah—muncul satu nama yang kini mengguncang tatanan lama: Frans Pigome. Sosok ini bukan sekadar profesional tambang, melainkan simbol kebangkitan Papua dalam perebutan kedaulatan ekonomi nasional.
Selama lebih dari 50 tahun, tanah Papua telah menjadi sumber utama kekayaan mineral Indonesia. Emas dan tembaga mengalir keluar dari Mimika menuju kas negara dan korporasi global. Namun, di balik kemegahan angka ekspor itu, masih ada kenyataan getir: rakyat Papua tetap menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Kini, Frans Pigome datang dengan misi yang tak main-main: mengubah arah sejarah dan menempatkan orang Papua di kursi pengambil keputusan tertinggi.
Dari Tiom Kecil ke Panggung Tambang Dunia
Frans Pigome lahir di Tiom Kecil, Kabupaten Lanny Jaya, dari keluarga pendidik yang sederhana tapi berprinsip kuat. Nilai kerja keras dan pendidikan yang ditanamkan orangtuanya menjadi pondasi utama yang membawanya menembus tembok-tembok birokrasi dan korporasi raksasa dunia.
Kariernya di PT Freeport Indonesia dimulai pada tahun 2004 di divisi keuangan. Dari sana, Pigome menapaki tangga karier yang menakjubkan — hingga akhirnya dikirim ke kantor pusat Freeport-McMoRan di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. Di sana, ia terlibat dalam program pengembangan sumber daya manusia global dan strategi pelatihan lintas negara.
Namun pada 2017, Pigome memilih untuk kembali ke tanah air. Ia tahu bahwa Papua membutuhkan lebih dari sekadar belas kasihan; yang dibutuhkan adalah kepemimpinan asli yang berani menantang sistem lama.
Antara 2018 hingga 2024, ia dipercaya menjadi Vice President for Papua Affairs — posisi strategis yang selama ini jarang, bahkan hampir tak pernah, diisi oleh putra Papua. Di tangan Pigome, program-program pelatihan seperti Institut Pertambangan Nemangkawi menjadi alat pemberdayaan anak muda Papua agar bisa menguasai sektor teknis, manajerial, dan bahkan kebijakan pertambangan.
Kini, ia kembali menjadi penasihat teknis di bidang sumber daya manusia dan keamanan strategis — peran yang menempatkannya di pusat diskusi besar: siapa yang seharusnya memimpin arah masa depan tambang nasional?
Paradoks Kekayaan dan Kemiskinan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, Papua menyumbang sekitar 15 persen ekspor mineral nasional, sebagian besar dari tembaga dan emas. Namun ironisnya, wilayah ini masih mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia.
Paradoks inilah yang menjadi bahan bakar moral bagi Pigome. “Kita hidup di atas emas, tapi tetap miskin,” ujar banyak tokoh adat di Papua — dan Pigome adalah generasi yang menolak untuk terus diam.
Ia memahami logika korporasi global, tetapi juga memahami luka sejarah masyarakat adat. Di sanalah kekuatannya: menjadi jembatan antara dunia tambang modern dan nilai-nilai budaya Papua yang menekankan keseimbangan, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam.
Dari Representasi Menuju Revolusi
Kehadiran Pigome bukan sekadar soal representasi simbolik, tapi juga tanda dimulainya revolusi baru di dunia pertambangan nasional.
Ia menjadi wajah “Papua Baru” — generasi terdidik yang tak lagi mau hanya menjadi penonton. Di tangannya, isu partisipasi lokal berubah menjadi agenda transformasi struktural.
Bahkan, pendekatan global seperti Environmental, Social, and Governance (ESG) yang biasanya hanya jargon korporasi, mulai diterjemahkan secara nyata di Papua. Laporan keberlanjutan Freeport 2024 mencatat peningkatan signifikan jumlah pekerja asli Papua di posisi profesional dan manajerial.
Langkah ini memperkuat dua hal: legitimasi sosial perusahaan dan keadilan sosial bagi masyarakat lokal.
“Kedaulatan Milik Siapa?”
Tahun 2018 menjadi momen bersejarah ketika Pemerintah Indonesia melalui BUMN akhirnya menguasai saham mayoritas PT Freeport Indonesia. Banyak yang menyebutnya sebagai simbol “kedaulatan ekonomi nasional.”
Namun, di Papua, pertanyaan yang lebih dalam muncul:
“Kedaulatan milik siapa?”
Apakah kedaulatan hanya berarti negara memiliki saham, sementara rakyat Papua tetap jadi penonton?
Frans Pigome menegaskan: kedaulatan sejati hanya ada ketika masyarakat adat ikut memimpin pengelolaan sumber daya di tanahnya sendiri.
Ia bukan hanya bicara — tapi membuktikan dengan kerja nyata, membuka ruang bagi ratusan anak muda Papua untuk menduduki posisi teknis dan manajerial di industri tambang.
Dukungan dari Timur hingga Nasional
Gelombang dukungan terhadap Pigome kini menguat. Dari Majelis Rakyat Papua (MRP) hingga tokoh nasional seperti Natalius Pigai dan intelektual muda Yusuf Kobepa, semua menyuarakan hal yang sama:
“Sudah saatnya orang Papua memimpin tambang mereka sendiri.”
Dukungan ini bukan basa-basi politik, tapi refleksi dari aspirasi kolektif masyarakat Papua yang ingin keluar dari bayang-bayang ketimpangan. Pigome dianggap bukan hanya pemimpin profesional, tapi juga simbol moral bahwa Papua mampu memimpin dengan martabat.
Menuju Tata Kelola yang Adil dan Inklusif
Dunia kini bergerak ke arah industri hijau dan ekonomi berkelanjutan. Indonesia ingin menjadi pusatnya — dari nikel di Sulawesi hingga tembaga di Papua. Namun, seperti ditegaskan UNDP (2023), keberlanjutan sejati hanya bisa terwujud bila masyarakat lokal diberi ruang untuk memimpin, bukan hanya berpartisipasi.
Di titik inilah, Pigome menjadi wajah perubahan. Kepemimpinannya menunjukkan bahwa pembangunan sejati tidak lahir dari perintah pusat, tetapi dari inisiatif lokal yang berakar pada keadilan sosial dan kearifan budaya.
Dari Pinggiran ke Pusat Republik
Papua terlalu lama dicap sebagai “pinggiran republik.” Tapi lewat figur seperti Frans Pigome, narasi itu mulai ditulis ulang.
Ia menunjukkan bahwa Papua bukan beban nasional, melainkan pusat moral bangsa.
Bahwa tambang bukan sekadar sumber uang, tapi juga panggilan tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan masa depan.
Kini, semua mata tertuju pada Pigome. Akankah negara berani membuka jalan bagi putra Papua pertama yang benar-benar memimpin tambang terbesar di Nusantara?
Atau, seperti yang sudah terlalu sering terjadi, suara dari Timur kembali tenggelam di bawah bisingnya politik Jakarta?
Satu hal pasti — bara perubahan sudah menyala di tanah emas Papua. Dan Frans Pigome-lah yang menyalakannya. 🔥
———
Johanes E.S. Wato adalah peneliti doktoral di Universitas Bonn, Jerman (BIGS-OAS, Kajian Asia Tenggara), yang meneliti tata kelola sumber daya, keadilan sosial, dan perubahan politik di Asia Tenggara.





