Di Papua Tengah, ada suara kuat yang bilang udah waktunya orang asli Papua (OAP) pegang jabatan puncak di PT Freeport Indonesia. Tokohnya? Yusuf Kobepa, pemuda sekaligus intelektual lokal yang nggak main-main. Dia minta supaya Presiden Republik Indonesia buka pintu lebar-lebar untuk OAP dalam memilih Presiden Direktur Freeport.
Yusuf ngebuka pernyataannya di Nabire, Senin (13/10/2025). Katanya, selama hampir 50 tahun Freeport berdiri di Papua, belum sekalipun ada OAP yang dipercaya jadi Presiden Direktur. Buat dia, momen penunjukan Presiden Direktur baru ini bukan cuma soal jabatan kosong, tapi jadi peluang bersejarah buat menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar berpihak dan percaya sama putra-putri Papua.
Nah, masuk ke nama yang diusulkan banyak pihak: Frans Pigome. Yusuf bilang, beliau tuh udah memenuhi standar dari sisi kompetensi. Jabatan yang sekarang diembannya sebagai Vice President di Freeport udah jadi bukti bahwa ia mampu manajemen besar dan punya pengalaman yang relevan.
Tapi gak cuma soal kerja dan pengalaman, ada aspek sosial & budaya juga yang menurut Yusuf sangat penting. Frans dianggap bisa jadi representasi bagi tujuh suku yang berada di wilayah operasi Freeport. Ia bukan cuma figur yang kompeten, tapi juga simbol bahwa semua orang asli Papua bisa terwakili.
Lebih dalam, usulan ini bukan semata-mata soal simbol atau retorika. Yusuf percaya kalau OAP bisa menduduki pucuk pimpinan Freeport, efeknya bakal nyata: berkurangnya jarak sosial dan psikologis antara perusahaan dan masyarakat adat. Freeport gak lagi dipersepsikan sebagai entitas luar yang cuma operasi dan ambil sumber daya, tapi benar-benar jadi bagian kehidupan masyarakat Papua.
Yusuf juga ngingetin: generasi muda Papua sudah siap. Bukan cuma soal pendidikan, tapi juga pengalaman, kepemimpinan sosial, dan kesadaran budaya. Semua elemen itu udah ada — tinggal pemerintah berani mengambil keputusan bersejarah.
Di akhir, pesan yang disampaikan cukup jelas: ini bukan hanya soal mendapatkan posisi, tapi soal kepercayaan, keadilan, dan pengakuan terhadap kemampuan OAP. Nyata atau nggak, keputusan ini bakal jadi pengukur sejauh mana kita bisa maju ke arah inklusivitas dan representasi.