Anggota DPR Papua sekaligus Wakil Ketua Pansus Kasus Mutilasi Nduga Namantus Gwijangge meminta Panglima TNI untuk menunda persidangan oleh Oditur Militer terhadap pelaku mutilasi warga Suku Nduga. Diketahui rencananya Oditur Militer Jayapura akan menggelar persidangan terhadap 5 pelaku anggota TNI kasus mutilasi Nduga pada Senin 12 Desember 2022. Sementara satu pelaku yaitu Mayor Inf HF disidangkan di Mahkamah Militer Surabaya.
“Kami sayangkan bahwa persidangan di Mahmil Jayapura dan Surabaya tidak dilakukan dengan transparan. Keluarga korban tidak diberitahu termasuk pengacaranya, Pansus DPR Papua yang kawal ini sejak awal juga tidak diinformasikan, tahu-tahu akan ada persidangan dan itu kami tahu dari media juga. Ini aneh sekali maka kami minta pada Panglima TNI agar ditunda dulu,” kata Namantus kepada wartawan, Minggu (11/12).
Menurut Namantus duduk soal kasus mutilasi ini masih belum jelas terutama terkait proses penyelesaian hukumnya. Dalam kacamata Pansus DPR Papua dan Keluarga, kasus ini harus diproses melalui peradilan koneksitas, karena pelaku bersama-sama adalah militer dan sipil apalagi korban adalah warga sipil.
“Tidak mungkin ini dilakukan di Mahkamah Militer saja tanpa terkoneksi dengan Peradilan Umum karena pelaku bersama-sama dari unsur TNI dan sipil. Nanti sinkronisasi keterangannya bagaimana? Jadi kami minta ditunda dulu,” jelas Namantus.
Ia menyayangkan juga di tengah proses hukum mutilasi Nduga, peradilan memberikan vonis bebas terhadap Anggota TNI pelaku pelanggaran HAM berat Paniai. Hal ini membuat masyarakat punya prasangka negatif, jangan sampai kasus mutilasi Nduga yang saat ini sudah mulai masuk proses persidangan akan bernasib sama dan karena itu dia meminta atensi Presiden, Panglima TNI, Menko Polhukam dan Menteri Pertahanan untuk memastikan betul agar kasus mutilasi Nduga diproses tuntas dan memberikan keadilan untuk korban dan keluarga serta warga Suku Nduga dan Papua pada umumnya.
“Terus terang vonis bebas HAM berat Paniai ini sangat memukul pencari keadilan utamanya warga Papua. Kami jadi was-was jangan-jangan kasus mutilasi Nduga akan bernasib sama, pelakunya akan bebas juga. Ini kami wanti-wanti dari sekarang agar otoritas di negara ini beri atensi khusus pada kasus ini sehingga persidangannya berlangsung transparan, berkadilan dan para pelaku mendapat hukuman berat, sesuai tuntutan keluarga hukuman mati,” ungkap Namantus.
Namantus mengingatkan kasus mutilasi Nduga adalah kasus HAM berat yang proses hukumnya tidak boleh main-main. Apalagi sudah ada sikap tegas Panglima TNI agar para pelaku mendapat hukuman maksimal.
“Artinya tidak boleh ada ruang sedikit pun untuk memainkan kasus ini. Makanya kami sejak awal dorong agar kasus ini dilakukan melalui pengadilan koneksitas militer dan peradilan umum supaya bisa dikawal bersama-sama, dan tidak ada ruang untuk menutup-nutupi,” pungkas Namantus.